Mari membaca, mari menulis dengan jujur, mari kita menyebarkan ilmu pengetahuan.. LETS START >>>

Friday, 1 August 2014

Mozaik Islam: Dari Atheis, Kristen, Budha, Hindu, Yahudi, Ruben Pun Memilih Islam

image
RUBEN Abu Bakr adalah pria asal Australia yang sangat humoris. Semula, ia adalah seorang atheis. Ia kemudian mempelajari seluruh agama, mulai dari Kristen, Katolik, Budha, Hindu hingga Yahudi. Terakhir, ia malah masuk Islam. Mengapa?
 
Kisah Ruben bermula ketika ia duduk di bangku kuliah. Kala itu, ia harus menghadapi beragam peristiwa berat. Sahabatnya tewas karena narkoba.

Tidak lama kemudian, orang tuanya bercerai. Ia pun dilanda kemiskinan.
 
“Bahkan, anjing peliharaan saya saja mati,” tutur Ruben
 
Frustrasi atas musibah kematian kerabat yang terus dihadapinya, ia pun bertanya-tanya tentang tujuan hidup. Tentu, hidup tak sekadar untuk mati. Berangkat dari pemikiran itu, ia pun mencari keberadaan Tuhan dengan meneliti setiap agama yang ada.
 
Nasrani menjadi agama pertama yang mendapat perhatian Ruben untuk diselidiki. Ini karena hampir semua temannya menganut agama ini. Ruben pun menuju gereja dan mendapati orang-orang yang bernyanyi memuji Tuhan dan mengatakan Tuhan Maha Pengasih. Pengalaman pertamanya ke gereja tak serta-merta membuat Ruben puas. Ia terus mempelajari Kristen, termasuk tentang Katolik, Anglikan, Baptisme, imam, pendeta, dan lain sebagainya. Ia pun memiliki banyak pertanyaan mengenai Kristen. Kesimpulannya, ia merasa tak cocok dengan agama ini.
 
Pencarian pun berlanjut. Ia beralih kepada Buddha. Kebetulan, Ruben yang bekerja paruh waktu di pom bensin berteman dengan seorang beragama Buddha. Ia tercengang ketika tahu Tuhan Buddha berkepala gajah.
 
“Mengapa Tuhan memiliki kepala gajah? Dapatkah kita memilih kepala singa? Atau sesuatu yang lebih perkasa?” tanya Ruben kepada temannya. 

Ruben menganggapnya tidak logis. Ia juga sempat mempelajari agama Mormon. Awalnya, dia menilai, ajaran agama ini sangat baik karena tidak memperbolehkan penganutnya meminum alkohol, kafein, dan cola. Namun, Ruben tidak menemukan kebaikan iman di agama ini. Ia kemudian menyelidiki agama Yahudi. Namun lagi-lagi, Ruben tidak menemukan apa yang ia cari.

Merasa upayanya sia-sia, Ruben pun menemui seorang temannya untuk berkonsultasi. Si teman yang beragama Kristen pun bertanya, “Bagaimana dengan Islam?”
 
Ruben pun sontak menolak. ”Apa? Islam? Untuk apa aku menyelidiki agama terorisme? Gila!”
 
Bagai menelan air ludah. Terbukti, lidah Ruben tak sesuai dengan tubuhnya. Ia kemudian melangkah memasuki masjid ketika suatu kali melewatinya.
 
“Saya tidak tahu apa yang menggerakkan saya, yang jelas saya menanggalkan sepatu dan langsung masuk begitu saja. Saya pikir, saya akan mati di masjid karena ketika itu saya satu-satunya orang kulit putih,” kata Ruben.
 
Ruben pun bertemu dengan seorang pria berperawakan besar asal Timur Tengah, berjanggut dan mengenakan gamis. Ruben menggambarkannya persis mirip para tersangka teroris. Yang mengagetkan, sosok tersebut menyapa sangat ramah, bahkan menyuguhkan sajian layaknya menerima tamu.
 
”Namanya Abu Hamzah,” ujar Ruben. Ia masih ingat, ia sangat kaget mendapat perlakuan seperti itu.
 
Ruben pun serta-merta menanyakan banyak hal tentang Islam. Misalnya, mengapa Abu Hamzah berjanggut dan mengapa Muslimah berhijab. Ia menanyakan pula mengenai praktik poligami dan lain sebagainya. Saat itu, Ruben dengan sombong menyangka pertanyaan itu sangat berat dan akan menyulitkan Abu Hamzah. Namun, lagi-lagi Ruben tercengang. Abu Hamzah mengambil Al-Quran dan menjelaskannya sesuai firman Allah SWT.
 
“Mereka selalu membuka Al-Quran untuk menjawab dan sama sekali tidak beropini sendiri. Mereka mengatakan tak boleh beropini tentang firman Tuhan,” tutur Ruben.
 
Ia pun membawa pulang sebuah kitab Al-Qur’an dari masjid tersebut. Ruben membaca terjemahannya dan sangat terkagum-kagum. Ia terpesona bagaimana Al-Qur’an menjelaskan proses penciptaan manusia. Butuh enam bulan bagi Ruben untuk menelaah Al-Qur’an, hingga ia menyimpulkan,  “Inilah yang aku cari dan perlukan.”
 
Dari tahap awal tersebut, Ruben pun berpikir untuk menantang Allah SWT sebelum benar-benar bersyahadat dan memeluk Islam. Ia menyalakan lilin, duduk di dekat jendela, seraya berkata, “Allah, ini adalah saat bagi saya untuk terjun ke Islam. Yang saya butuhkan hanya sebuah tanda. Hanya tanda kecil, mungkin sedikit petir, atau mungkin rumah yang runtuh.”
 
Lama ia menunggu, tidak ada tanda apa pun. Lilin yang ia harapkan padam sebagaimana yang sering ia lihat di film, tidak terjadi. “Ayolah Allah, satu saja,” Ruben memaksa.
 
Namun, tetap tidak ada apa pun yang terjadi. Ruben merasa kecewa kepada Allah. Dengan perasaan kecewa, Ruben kembali membuka Al-Qur’an, kemudian membaca ayat, “Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari, dan bulan untukmu. Dan, bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah SWT.) bagi kaum yang memahami-(nya).”
 
Membaca ayat tersebut, bulu roma Ruben berdiri. Ia segera lari ke tempat tidur dan sembunyi di balik selimut. Berkeringat dingin, ia tidak mampu melakukan apa pun saking takutnya.
 
“Betapa arogannya saya ketika itu menantangNya, padahal matahari dan semua yang diciptakan-Nya merupakan tanda-tanda.”
 
Ruben pun kembali ke masjid dan bermaksud mengucapkan syahadat. Jamaah di masjid pun menyaksikan perubahan hidup Ruben menuju kebaikan.
 
Namun, Ruben mengaku kesulitan saat harus mengucapkan syahadat dengan bahasa Arab.
 
“Bisakah saya mengucapkannya dengan bahasa Inggris?” tawarnya kepada Abu Hamzah.
 
Tentu saja, permintaan Ruben tidak diizinkan. Meski harus berkali-kali keseleo lidah, akhirnya Ruben mampu bersyahadat. Usai mengucapkan syahadat, seluruh jamaah pria di masjid pun menciumnya. Saat itu, masjid dipenuhi jamaah karena bertepatan dengan hari pertama Ramadhan. Menurut Ruben, baru kali itu ia dicium begitu banyak pria. Namun, ia sangat senang. Ini peristiwa sangat berharga dan tak mungkin ia lupakan.
 
Sementara itu, keluarganya merasa cemas dengan keislaman Ruben. Mereka menyangka putra mereka telah masuk ke dalam kelompok teror.
 
“Mereka takut jika nanti saya memegang senapan AK 47 dan granat,” kata Ruben sembari tersenyum. Namun, hari demi hari, orang tua Ruben justru mendapati anaknya menjadi pribadi yang patuh dan baik. Mereka pun menyukai perubahan Ruben.
 
Bahkan, sang ayah ikut tertarik membaca Al-Quran. Dan berkata “Kini, kamu menjadi orang yang lebih bisa diandalkan, dipercaya, dan dapat dimintai tolong.” [islampos/onislam]
Share:

0 comments:

Post a Comment

Kritik & Saran Anda sangat Saya Butuhkan.. Silahkan berkomentar dengan Bahasa yang Sopan. Komentar tidak boleh mengandung unsur pornografi, atau link hidup. Terima kasih.

Daftar Pengunjung

Flag Counter