Jika kemarin saya memposkan kecerdasan melalui lagu, kini saya
memposkan kecerdasan melalui membaca dan mendengarkan Al-Qur'an.Mari bahas dari
awal.
Al-Qur'an sebagai pedoman hidup manusia tentunya mengandung banyak
nilai-nilai keagungan dan keindahan makna bahasanya.Al-Qur'an yang telah
menyempurnakan kitab-kitab terdahulu tentunya mempunyai banyak kelebihan dan
manfaat yang sangat lebih besar.Allah berfirman sebagai berikut:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ
مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ....
Artinya: Dan kami telah menurunkan
kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang
membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya,....(Q.S
al-Ma’idah/5:48)
Pemilik IQ tinggi bukan jaminan untuk meraih kesuksesan.
Seringkali ditemukan pemilik IQ tinggi tetapi gagal meraih sukses; sementara
pemilik IQ pas-pasan meraih sukses luar biasa karena didukung oleh EQ.
Mekanisme EQ tidak berdiri sendiri di dalam memberikan kontribusinya ke dalam
diri manusia tetapi intensitas dan efektifitasnya sangat dipengaruhi oleh unsur
kecerdasan ketiga (SQ).
SQ sulit sekali diperoleh tanpa kehadiran EQ, dan EQ tidak
dapat diperoleh tanpa IQ. Sinergi ketiga kecerdasan ini biasanya disebut
multiple intelligences yang bertujuan untuk melahirkan pribadi utuh (“al-insan
al-kamilah). Untuk penyiapan SDM di masa depan, internalisasi ketiga bentuk
kecerdasan ini tidak dapat ditawar lagi.
Di dalam Al-Qur’an, ketiga bentuk kecerdasan ini tidak
dijelaskan secara terperinci. Namun, masih perlu dikaji lebih mendalam beberapa
kata kunci yang berhubungan dengan ketiga pusat kecerdasan yang dihubungkan
dengan ketiga substansi manusia, yaitu unsur jasad yang membutuhkan IQ, unsur
nafsani yang membutuhkan EQ, dan unsur roh yang membutuhkan SP.
Substansi Manusia dalam Al-Qur’an
Substansi manusia dalam Al-Qur’an mempunyai tiga unsur,
yaitu unsur jasmani, unsur nafsani, dan unsur rohani. Keterangan seperti ini
dapat difahami di dalam beberapa ayat, antara lain Q.S. al-Mu'minn/23:12-14
sebagai berikut:
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu
saripati (berasal) dari tanah (12). Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani
(yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim) (13). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal
darah, lalu segumpal darah itu Kami
jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging.
Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci Allah,
Pencipta Yang Paling Baik (14).
Kata dalam ayat ini menurut para mufassir dimaksudkan
sebagai unsur rohani setelah unsur jasad dan nyawa (nafs±ni). Hal ini sesuai
dengan riwayat Ibn Abbas yang menafsirkan kata dengan (penciptaan roh ke dalam diri Adam)[2] Unsur
ketiga ini kemudian disebut unsur ruhani, atau lahut atau malakut. yang
menjadikan manusia berbeda dengan makhluk biologis lainnya. Unsur ketiga ini
merupakan proses terakhir dan sekaligus merupakan penyempurnaan substansi
manusia sebagaimana ditegaskan di dalam beberapa ayat, seperti dalam Q.S.
al-Hijr/15:28-29:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para
malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat
kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku
telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kepadanya ruh
(ciptaan)-Ku, maka tunduklah kalian kepadanya dengan bersujud.
Setelah penciptaan unsur ketiga ini selesai maka para
makhluk lain termasuk para malaikat dan jin bersujud kepadanya dan alam raya
pun ditundukkan (taskhir) kepada Adam. Unsur ketiga ini pulalah yang mendukung
kapasitas mamnusia sebagai khalifah (representatif) Tuhan di bumi (Q.S.
al-An‘am/6:165) di samping sebagai hamba (Q.S. al-zariyat/51:56).
Meskipun memiliki unsur ketiga, manusia akan tetap menjadi
satu-satunya makhluk eksistensialis, karena hanya makhluk ini yang bisa turun
naik derajatnya di sisi Tuhan. Sekalipun manusia ciptaan terbaik (ahsan
taqwim/Q.S. al-Tin/95:4), ia tidak mustahil akan turun ke derajat "paling
rendah" (asfala safilin/Q.S. al-Tin/95:5), bahkan bisa lebih rendah
daripada binatang (Q.S. al-A‘raf/7:179). Eksistensi kesempurnaan manusia dapat
dicapai manakala ia mampu mensinergikan secara seimbang potensi kecerdasan yang
dimilikinya, yaitu kecerdasan unsur jasad (IQ), kecerdasan nafsani (EQ), dan
kecerdasan ruhani (SQ).
Kecerdasan Intelektual (IQ)
Inti kecerdasan intelektual ialah aktifitas otak. Otak
adalah organ luar biasa dalam diri kita. Beratnya hanya sekitar 1,5 Kg atau
kurang lebih 5 % dari total berat badan kita. Namun demikian, benda kecil ini
mengkonsumsi lebih dari 30 persen seluruh cadangan kalori yang tersimpan di
dalam tubuh. Otak memiliki 10 sampai 15 triliun sel saraf dan masing-masing sel
saraf mempunyai ribuan sambungan. Otak satu-satunya organ yang terus berkembang
sepanjang itu terus diaktifkan. Kapasitas memori otak yang sebanyak itu hanya
digunakan sekitar 4-5 % dan untuk orang jenius memakainya 5-6 %. Sampai
sekarang para ilmuan belum memahami penggunaan sisa memori sekitar 94 %.
Otak dapat dibagi menjadi otak kiri dan otak kanan. Otak
kiri memiliki fungsi analisis dan otak kanan memiliki fungsi kreatif. Meskipun
masih banyak ditentang, kalangan imuan mengidentifikasi otak kiri sebagai orak
feminin dan otak kanan sebagai otak maskulin. Walaupun terpisah tetapi keduanya
saling berhubungan secara fungsional. Kelainan akan terjadi manakala hubungan
fungsional itu terganggu.
Wilayah aktifitas otak juga dapat dibedakan antara pikiran
sadar dan pikiran bawah sadar. Wilayah pikiran sadar hanya sekitar 12 % dan
selebihnya (88%) adalah wilayah pikiran bawah sadar. Di antara kedua wilayah
ini, ada garis pemisah yang disebut Reticular
Activating System (RAT), yang berfungsi untuk menyaring informasi tidak
perlu atau berlebihan supaya kita tetap bisa waras. Di wilayah bawah sadar
tersimpan semua ingatan dan kebiasaan, kepribadian dan citra diri kita.
Di dalam sistem otak kita ada suatu bagian yang disebut
limbik (otak kecil), terletak di bawah tulang tengkorak di atas tulang
belakang. Otak kecil ini ditemukan oleh para ilmuan memiliki tiga fungsi, yaitu
mengontrol emosi, mengontrol seksualitas, dan mengontrol pusat-pusat
kenikmatan.
Dari sini difahami bahwa otak dan emosi memiliki hubungan
yang fungsional yang saling menentukan antara satu dan lainnya. Penelitian
Rappaport di tahun 1970-an menyimpulkan
bahwa emosi tidak hanya diperlukan dalam penciptaan ingatan, tetapi
emosi adalah dasar dari pengaturan memori. Orang tidak akan pernah mencapai
kesuksesan dalam bidang apapun kecuali mereka senang menggeluti bidang itu.
Jadi untuk mengoptimalkan kecerdasan intelektual yang biasa disebut dengan
accelerated learning, tidak dapat dicapai tanpa bantuan aktifitas emosional
yang positif.[3]
Di dalam Al-Qur’an, kecerdasan intelektual dapat dihubungkan
dengan beberapa kata kunci seperti kata???
(saecara harfiah berarti mengikat)
yang terulang sebanyak 49 kali dan tidak pernah digunakan dalam bentuk
kata benda (ism) tetapi hanya digunakan dalam bentuk kata kerja (fi’il), yaitu
bentuk fi’il madli sekali dan bentuk fi’il mudlari’ 48 kali. Penggunaan kata
‘aql dalam ayat-ayat tersebut pada
umumnya digunakan untuk menganalisis fenomena hukum alam (seperti Q.S.
al-Baqarah/2:164) dan hukum-hukum perubahan sosial (seperti Q.S.
al-‘Ankabt/29:43).
Selain kata ‘aql juga dapat dihubungkan dengan predikat
orang-orang yang mempunyai kecerdasan intelektual seperti kata (orang-orang yang mempunyai pikiran) yang
terulang sebanyak 16 kali. Seorang yang mencapai predikat ul al-bab belum
tentu memiliki kecerdasan emosional atau kecerdasan spiritual, karena masih
ditemukan beberapa ayat yang menyerukan kepada kaum ul al-bab untuk bertakwa
kepada Allah Swt (Q.S.al-Maidah/5:100 dan S. al-Thalaq/65:10). Namun, ul
al-bab juga dapat digunakan bagi pemilik
IQ yang sudah menyadari akan adanya kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi di
balik kemampuan akal pikiran (Q.S. al-Baqarag/2:269 dan S. al-Zumar/39:9). Dan
masih banyak lagi istilah yang mengisyaratkan aktifitas kecerdasan intelektual
kesemuanya itu dapat disimpulkan bahwa ontologi akal hanya terbatas pada
obyek-obyek yang dapat diindera, kepada obyek-obyek yang bersifat metafisik.
Penguasaan kecerdasan intelektual bukan jaminan untuk
memperoleh kualitas iman atau kualitas spiritual yang lebih baik, karena
terbukti banyak orang yang cerdas secara intelektual tetapi tetap kufur
terhadap Tuhan. Hal ini juga ditegaskan di dalam Q.S.al-Baqarah/2:75:
Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu,
padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya
setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui? (Q.S.al-Baqarah/2:75).
Ayat ini mengisyaratkan bahwa bahwa kecerdasan intelektual
terkadang digunakan untuk meligitimasi kekufuran. Padahal, idealnya kecerdasan
intelektual digunakan untuk memperoleh kecerdasan-kecerdasan yang lebih tinggi.
Seorang ilmuan yang arif tidak berhenti pada level kecerdasan intelektual
tetapi melakukan sinergi dengan kecerdasan-kecerdasan yang lebih tinggi. Inilah
makna simbol ayat pertama yang diturunkan dalam Al-Qur’an: Iqara’ bi ism
Rabbik: “Membaca” harus selalu dikaitkan dengan “nama Tuhan”.
Kecerdasan Emosional[4] (EQ)
Kecerdasan emosional dapat diartikan dengan kemampuan untuk
“menjinakkan” emosi dan mengarahkannya ke pada hal-hal yang lebih positif.
Seseorang dapat melakukan sesuatu dengan didorong oleh emosi, dalam arti
bagaimana yang bersangkutan dapat menjadi begitu rasional di suatu saat dan menjadi
begitu tidak rasional pada saat yang lain. Dengan demikian, emosi mempunyai
nalar dan logikanya sendiri. Tidak setiap orang dapat memberikan respon yang
sama terhadap kecenderungan emosinya. Seorang yang mampu mensinergikan potensi
intelektual dan potensi emosionalnya berpeluang menjadi manusia-manusia utama
dilihat dari berbagai segi.
Hubungan antara otak dan emosi mempunyai kaitan yang sangat
erat secara fungsional. Antara satu dengan lainnya saling menentukan. Daniel
Goleman menggambarkan bahwa otak berfikir harus tumbuh dari wilayah otak
emosional. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa keserdasan emosional
hanya bisa aktif di dalam diri yang memiliki kecerdasan intelektual.[5]
Jenis dan sifat emosi dapat dikelompokkan sebagai berikut:
- Amarah: Bringas, mengamuk, benci, marah besar, jenkel,
kesal hati, terganggu, berang, tersinggung, bermusuhan, sampai kepada kebencian
bersifat patologis.
- Kesediahan: Pedih, sedih, muram, suram, melankolis,
mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, dan depresi berat.
- Rasa takut: cemas, takut, gugup, khawatir, waswas,
perasaan takut sekali, khawatir, waspada, tidak tenang, negeri, kecut, fobia,
dan panik.
- Kenikmatan: bahagia, gembira, ringan, puas, riang, senang,
terhibur, bangga, kenikmatan indrawi, takjub, rasa terpesona, rasa puas, rasa
terpenuhi, kegirangan luar biasa, dan batas ujungnya mania.
- Cinta: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati,
rasa dekat, bakti, hormat, kasmaran, dan kasih.
- Terkejut: terkesima, takjub, terpana.
- Jengkel: hina, jijik, muak, mual, dan benci.
- Malu: rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, aib, dan
hati hancur lebur.[6]
Kelompok-kelompok emosi tersebut di atas menurut Paul Ekman
dari Universitas California, akan menampilkan ekspresi wajah yang Universal di
hampir seluruh etnik, artinya dari suku dan etnik manapun seorang yang
mengalami berbagai jenis emosi di atas akan menampilkan ekspresi raut muka yang
sama.[7]
Di dalam Al-Qur’an, aktifitas kecerdasan emosional
seringkali dihubungkan dengan kalbu. Oleh karena itu, kata kunci utama EQ di
dalam Al-Qur’an dapat ditelusuri melalui kata kunci (kalbu) dan tentu saja dengan istilah-istilah
lain yang mirip dengan fungsi kalbu seperti jiwa (???), intuisi, dan beberapa
istilah lainnya.
Jenis-jenis dan sifat-sifat kalbu (qalb) dalam Al-Qur’an
dapat sikelompokkan sebagai berikut:
*
Kalbu yang positif :
1.
Kalbu yang damai (Q.S. al-Syura/26:89).
2.
Kalbu yang penuh rasa takut (Q.S.Qafl50:33)
3.
Kalbu yang tenang (Q.S.
al-Nahl/16:6)
4.
Kalbu yang berfikir
(Q.S.al-Haj/2:46)
5.
Kalbu yang mukmin (Q.S.al-Fath/48:4)
*
Kalbu tang Negatif:
1.
Kalbu yang sewenang-wenang (Q.S. Gafir/40:35)
2.
Kalbu yang sakit (Q.S.
al-Ahdzab/33:32)
3.
Kalbu yang melampaui batas
(Q.S.Yunus/10:74)
4.
Kalbu yang berdosa (Q.S.al-Hijr/15:12)
5.
Kalbu yang terkunci,
tertutup (Q.S.al-Baqarah/2:7)
6.
Kalbu yang terpecah-pecah (Q.S.al-Hasyr/59:14)
Kalau qalb di atas dapat diartikan sebagai emosi maka dapat
difahami adanya emosi cerdas dan tidak cerdas. Emosi yang cerdas dapat dilihat
pada sifat-sifat emosi positif dan emosi yang tidak cerdas pada sifat-sifat
emosi negatif.
Eksistensi kecerdasan emosional dijelaskan dengan begitu
jelas di dalam beberapa ayat berikut ini:
maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka
mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga
yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu
yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (Q.S.al-Haj/22:46)
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam
kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak
dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan
mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar
(ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih
sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (Q.S.al-A’raf/5:179)
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya
dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan
atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah
(membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
(Q.S.al-Jatsiyah/45:23)
Ayat-ayat tersebut di atas cukup jelas menggambarkan kepada
kita bahwa faktor kecerdasan emosional ikutserta menentukan eksistensi martabat
manusia di depan Tuhan. Menurut S.H.Nasr, emosi inilah yang menjadi faktor
penting yang menjadikan manusia sebagai satu-satunya makhluk eksistensialis,
yang bisa turun-naik derajatnya di mata Tuhan. Binatang tidak akan pernah
meningkat menjadi manusia dan malaikat tidak akan pernah “turun” menjadi
manusia karena mereka tidak memiliki unsur kedua dan unsur ketiga seperti yang
dimiliki manusia.[8]
Upaya mendapatkan kecerdasan emosional dalam Islam sangat
terkait dengan upaya memperoleh kecerdasan spiritual. Keduanya mempunyai
beberapa persamaan metode dan mekanisme, yaitu keduanya menuntut
latihan-latihan yang bersifat telaten dan sungguh-sungguh (muj±hadah) dengan
melibatkan “kekuatan dalam” (inner power) manusia. Bedanya, mungkin terletak
pada sarana dan proses perolehan. Aktifitas kecerdasan emosional seolah-olah
masih tetap berada di dalam lingkup diri manusia (sub-conciousnes), sedangkan
kecerdasan spiritual sudah melibatkan unsur asing dari diri manusia
(supra-conciousnes).
Kecerdasan Spiritual (SQ)
Kecerdasan spiritual menjadi salah satu wacana yang mulai
mencuak akhir-akhir ini. Wacana ini muncul seolah-olah kelanjutan dari wacana
yang pernah dipopulerkan oleh Daniel Goleman dengan Emotional Intelligence-nya.
Kini sudah mulai bermunculan karya-karya baru tentang kecerdasan ketiga ini
dengan metode pembahasan yang berbeda-beda. Yang lebih menarik lagi karena buku-buku
ini muncul di dunia Barat. Apakah ini pertanda bahwa Barat kini sudah mulai
melakukan reorientasi pandangan hidup atau karena sedang terjadi suatu krisis
di Barat.
Kalangan ilmuan kini semakin sadar betapa pentingnya manusia
kembali berpaling untuk memahami dirinya sendiri lebih mendalam. Sebab hanya
dengan mengandalkan kecerdasan intelektual saja manusia tidak akan sampai
kepada martabat yang ideal. Atas dasar inilah, Danah Zohar dan Ian Marshal
menerbitkan satu buku yang amat menarik yang diberinya judul: SQ Spiritual
Intelligence: The Ultimate Intelligence. Dalam buku ini diawali dengan tinjauan
secara kritis kelemahan-kelemahan dunia Barat dalam kurun waktu terakhir ini
karena mengabaikan faktur kecerdasan spiritual ini. Sebaliknya, buku ini memberikan
apresiasi yang sangat positif terhadap niulai-nilai humanisme ketimuran yang
dikatakannya lebih konstruktif daripada nilai-nilai humanisme yang hidup di
Barat.[9]
Kecerdasan spiritual dalam Islam sesungguhnya bukan
pembahasan yang baru. Bahkan masalah ini sudah lama diwacanakan oleh para sufi.
Kecerdasan spiritual (SQ) berkaitan langsung dengan unsur ketiga manusia.
Seperti telah dijelaskan terdahulu bahwa manusia mempunyai substansi ketiga
yang disebut dengan roh. Keberadaan roh dalam diri manusia merupakan intervensi
langsung Allah Swt tanpa melibatkan pihak-pihak lain, sebagaimana halnya proses
penciptaan lainnya. Hal ini dapat difahami melalui penggunaan redaksional ayat
sebagai berikut:
Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah
meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan
bersujud. (Q.S.al-Hijr/15:29)
Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan
kepadanya roh (ciptaan) Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud
kepadanya". (Q.S.Shad/38:72).
Ayat tersebut di atas menggunakan kata (dari ruh-Ku) , bukan
kata (dari roh Kami) sebagaimana lazimnya pada penciptaan makhluk lain. Ini
mengisyaratkan bahwa roh yang ada dalam diri manusia itulah yang menjadi unsur
ketiga (???? ???) dan unsur ketiga ini pula yang menyebabkan seluruh makhluk
harus sujud kepada Adam. Ini menggambarkan seolah-olah ada obyek sujud lain
selain Allah. Unsur ketiga ini pula yang mem-backup manusia sebagai khalifah
(representatif) Tuhan di bumi.
Kehadiran roh atau unsur ketiga pada diri seseorang
memungkinkannya untuk mengakses kecerdasan spiritual. Namun, upaya untuk
mencapai kecerdasan itu tidak sama bagi setiap orang. Seorang Nabi atau wali
tentu lebih berpotensi untuk mendapatkan kecerdasan ini, karena ia diberikan
kekhususan-kekhususan yang lebih dibanding orang-orang lainnya. Namun tidak
berati manusia biasa tidak bisa mendapatkan kecerdasan ini.
0 comments:
Post a Comment
Kritik & Saran Anda sangat Saya Butuhkan.. Silahkan berkomentar dengan Bahasa yang Sopan. Komentar tidak boleh mengandung unsur pornografi, atau link hidup. Terima kasih.